Senja menjelang gelap,
saya bersama Bambang dan James baru saja memasuki perkampungan Sedulur
Sikep di Sukolilo. Kami langsung menuju rumah Gunritno, tokoh yang
dituakan dalam komunitas Sedulur Sikep, meski dituakan sesungguhnya dia
masih cukup muda. Nampak dari luar, pintu dan jendelanya terbuka
demikian juga mereka cukup terbuka menyambut kedatangan kami. Ruangan
paling depan digunakan untuk menerima tamu terlihat cukup besar,
terlihat beberpa ikat padi kering di tergantung di tembok. Tepat di
samping rumah induk, bagian belakang terdapat semacam aula kecil yang
bisa dipakai pertemuan, di ruangan inilah kami menginap.
“Tepungna, aranku Gunritno”
(Perkenalkan, nama saya Gunritno), demikian ajakan Gunritno untuk
berkenalan sembari bersalaman dengan masing-masing dari kami. Masih
cukup muda, sekitar 45 tahun saya tidak tanya umurnya karena jika
ditanya akan menjawab “umurnya satu, untuk selamanya”. Saya tahu umurnya
dari sebuah artikel tentang dia yang dimuat dalam sebuah surat kabar
nasional, rubrik Sosok. Setelah bertanya jawab tentang siapa kami,
maksud kedatangan kami, tanpa menunggu lama kami diajak makan malam
bersama dengan keluarga besar. Nasi liwetnya sangat enak dan sedikit
berbeda dengan nasi yang biasanya saya makan, mungkin dicampur dengan
beras ketan. Lauknya ada urap, sambal,tempe dan kerupuk. Terimakasih Mas
Gun.
Tetap menggunakan bahasa jawa ngoko,
Gunritno menjawab berbagai pertanyaan yang kami lemparkan. Penggunaan
bahasa jawa ngoko bukan untuk tidak menghargai kami, hal ini digunakan
atas konsep semua orang adalah saudara, tersirat selama percakapan kami
tentang Sedulur Sikep. Meskipun semua orang itu saudara, tidak semua
orang mau diajak bersaudaraan. Terhadap saudara orang tidak mungkin
menyakiti atau membenci dan yang pasti Sedulur Sikep tidak mengenal
kekerasan.
Tidak ada ajaran yang tertulis dalam
komunitas Sedulur Sikep, semuanya diajarkan dari mulut ke mulut.
Pengajaran menjadi tanggungjawab orangtua masing-masing kepada anaknya,
sebagai salah satu tanggungjawab Sikep. Saya agak kesusahan untuk
memaknai konsep Sedulur Sikep. Kata sikep dalam bahasa jawa bisa
diartikan sebagai dekap, tapi dapat juga berasal dari kata sikap dari
bahasa Indonesia. Ketika saya tanyakan tentang Sedulur Sikep, Gunritno
menjelaskan mengenai sikap yang seharusnya dijalankan oleh laki dan
perempuan. Ketika laki-laki menginginkan perempuan menjadi pendamping
hidupnya mengikatkan diri dalam janji setia sampai mati, dengan
disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Tidak hafal persis
bagaimana lafalnya dalam bahasa Jawa, namun penjelasan tersebut
sebenarnya merupakan akronim dari Pancasila. Keterangan ini saya peroleh
dari buku yang ditulis oleh David Samiyana tentang Sedulur Sikep.
Janji setia tersebut tidak tertulis,
namun dibawa dan dilakukan dalam kehidupan mereka masing-masing. Janji
bukan sekedar kesetiaan pasangan tersebut untuk tidak mendua, namun juga
tentang ajaran dan tradisi Sedulur Sikep. Misalnya, tanggungjawab untuk
membesarkan dan mengajarkan nilai-nilai hidup Sedulur Sikep. Wujud
nyata dari tanggungjawab tersebut adalah mereka tidak menyekolahkan
anak-anak mereka dalam pendidikan formal, karena hal ini berarti mereka
telah melemparkan tanggungjawab pendidikan kepada orang lain. Jika sudah
demikian maka dianggap tidak menjalankan Laku Sedulur Sikep. Pengajaran
orang tua kepada anak-anaknya dilakukan tidak terbatas waktu dan
tempat, dilakukan sejak anak-anak mampu memahami sesuai dengan tingkat
pemahamannya.
Ajaran pokok mereka adalah pantang untuk
berbuat jahat, benci, jahil, dusta, iri, mencuri, meminta ataupun
memungut barang. Hal yang paling dijunjung tinggi adalah kejujuran. Jika
ditanya tentang kepercayaan mereka akan menjawab percaya pada baiknya
perilaku. Percuma saja jika seseorang mengaku beriman dan percaya pada
sesuatu namun perilaku mereka masih merugikan dan menyengsarakan orang
lain. Jika ditanya tentang agama mereka memberikan penjelasan tantang
Agama Adam, saya tidak memperoleh informasi yang cukup tentang hal ini.
Tidak seperti agama mayoritas di Indonesia yang memiliki suatu tatanan
yang jelas dalam hal doktrin, tempat ibadah, tata ibadah dan
stratifikasi pemeluk agama. Jika ditanya tentang Tuhan, mereka menjawab
percaya pada “bagusing ati” atau bagusnya hati yang juga merupakan
akronim dari Gusti sebutan lain untuk Tuhan.
Komunitas Sedulur Sikep hanya hanya
memilih pekerjaan sebagai Petani. Hasil pertanian mereka digunakan untuk
keperluan sendiri, jika berlebih mereka dapat menukarkannya dengan
barang lain ataupun uang, jadi tidak dijual. Mereka sangat mengutamakan
kerjasama dan saling tolong menolong, jika terdapat keluarga yang gagal
panen mereka dapat membantu bekerja di keluarga yang panenannya bagus,
kemudian mendapat bagiannya. Mereka terbiasa berbagi, namanya juga
saudara. Meskipun mereka tidak segan untuk berbagi, namun mereka sangat
menjunjung tinggi kemandirian.
Sedulur Sikep sudah ada cukup lama,
namun agak susah mengetahui asal-usulnya. Komunitas mereka dikenal
dengan aksi pemboikotan mereka untuk membayar pajak ataupun segala
kebijakan yang dibuat oleh penguasa (terutama penjajah Belanda). Aksi
pemboikotan tersebut terjadi sekitar awal 1900-an ketika Samin
Surosentiko sebagai penatua Sedulur Sikep. Di Masa orde baru hingga
sekarang, komunitas Sedulur Sikep kemudian dipersepsikan negatif oleh
penguasa sebagai orang yang bodoh, bebal, lugu dan anti perubahan. Oleh
karena itu orang yang demikiandikatakan sebagai orang Samin.
Stigmatisasi negatif atas komunitas
Sedulur Sikep yang dilakukan penguasa waktu itu didasarkan atas
kekhawatiran mereka akan bertambahnya pengikut Samin Surosentiko dalam
aksi pemboikotan. Masyarakat petani yang tertindas dengan berbagai
kebijakan yang merugikan, terutama pajak kemudian menjadi simpati dengan
aksi boikot Samin Surosentiko. Hal ini menjelaskan mengapa komunitas
Sedulur Sikep tersebar di berbagai daerah mulai dari Kudus, Pati,
Rembang, Blora. Jadi mulanya mereka bukan hanya persaudaraan sedarah
saja, namun juga karena perasaan senasib sebagai warga terjajah dan
sepikir dalam rangka menyikapi penjajahan.
Pada masa setelah kemerdekaan,
perjuangan mereka bukan lagi terhadap penjajah melainkan terhadap
kesewenag-wenangan bangsa sendiri. Sedulur Sikep yang mengaku beragama
Adam lain dengan agama-agama mayoritas di Indonesia, oleh karena itu
tidak jarang ada upaya untuk mengagamakan mereka seperti agama
mayoritas. Belakangan komunitas komunitas Sedulur Sikep terancam
keberadaannya degan rencana pendirian pabrik semen di wilayah mereka.
Komunitas Sedulur Sikep yang dianggap
terbelakang justru memmpunyai kesadaran yang cukup tinggi terhadap
lingkungan. Mereka mengajak segenap masyarakat di sekitar Sukolilo untuk
melakukan kasi penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen.
Gunarti, adik dari Gunritno bahkan bersedia bersepeda dari kampung ke
kampung tanpa dibayar untuk membangun kesadaran bersama akan resiko
pendirian pabrik semen tersebut.
Rencana pendirian pabrik semen tersebut
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, yang akibatnya tidak hanya
dirasakan oleh Sedulur Sikep saja, namun segenap masyarakat
disekitarnya.Hal ini dilatarbelakangi karena mereka bekerja segabai
petani, bagaimana mungkin bertahan hidup jika pasokan air dari
pegunungan Kendeng berkurang atau bahkan hilang. Rencana pendirian
pabrik semen tersebut tentunya akan menggali dan melenyapkan pegunungan
Kendeng untuk bahan baku semen, dengan demikian sekian banyak mata air
di dalamnya akan ikut serta hilang. Sudah jelas kebutuhan mereka untuk
air minum akan sangat kesulitan, juga keperluan air untuk irigasi.
Ketika air irigasi tidak lancar makadapat dipastikan mereka akan gagal
panen dan kelaparan. Belum lagi memperhitungkan bahaya limbah yang
dihasilkan oleh pabrik tersebut.
Sungguh sangat ironis, para pengusaha
dan juga penguasa yang tentunya terpelajar dan bermatabat terlihat
begitu obsesi untuk mendirikan pabrik semen demi keuntungan segelintir
orang. Sementara itu di sisi lain, Sedulur Sikep bersama dengan
masyarakat Sukolilo berjuang memepertahankan tanah dan kehidupan mereka.
Apakah mereka yang terpelajar dan berkuasa hanya akan menjadi
‘penjajah’ atas mereka yang lemah dan tidak terpelajar?
Barangkali saya terlalu terbawa suasana,
namun begitulah gejolak hati yang saya rasakan ketika saya berkunjung
dan tinggal bersama Sedulur Sikep. Haru bercampur iba, dan sejenak
serasa ditelanjangi alam pikir saya.Bagaimana mungkin pendidikan yang
berjalan bersama dengan modernitas dengan tanpa persasaan menghimpit dan
orang-orang yang menghendaki hidup dengan damai. Saya banyak belajar
tentang kesahajaan hidup dari mereka, sebagian kecil saja yang dapat
saya serap kemudian saya tuliskan. Besar kemungkinan saya terlalu
dangkal dan sok tahu dalam memahami Sedulur Sikep, hal ini pula yang
mendorong saya untuk kembali berkunjung ke Sukolilo, sehingga bisa
belajar untuk lebih arif dengan alam dan sesama, entah kapan.
Selamat berjuang saudaraku, Sedulur Sikep.
0 komentar:
Posting Komentar